Perusahaan-perusahaan tekstil di Indonesia pada dua tahun terakhir harus menerapkan strategi-strategi berbeda untuk dapat bertahan dari gejolak global. Perlambatan ekonomi global, perang mata uang, serta kejatuhan harga komoditas menjadi tantangan tersendiri yang mesti dihadapi.
PT Indorama Synthetics Tbk (INDR), emiten produsen tekstil hulu yang dimiliki salah satu orang terkaya di Indonesia, Sri Prakash Lohia, misalnya memilih strategi mempercepat realisasi ekspansi pabrik baru senilai US$ 40 juta atau setara Rp 556 miliar (kurs Rp13.900 per dolar) di Subang, Jawa Barat. Pembangunan pabrik baru itu tergolong cepat karena membutuhkan waktu hanya tujuh bulan.
CEO Indorama Sri Prakash Lohia mengatakan, pembangunan pabrik yang dilakukan ini merupakan pembangunan pabrik tercepat dari sembilan pabrik yang telah terbangun. “Kami tambah lagi satu pabrik di sini. Tujuh bulan sudah bisa diselesaikan. Di mana coba bisa bangun pabrik dengan proses yang cepat,” ujar Lohia.
Selain itu, dari beberapa pabrik yang tersebar di beberapa negara seperti Vietnam, Uzbekistan, Turki, Myanmar, Indonesia menjadi negara dengan proses penyelesaian izin konstruksi tercepat, sehingga memudahkan dan mempercepat pembangunan.
“Dari 40 tahun kami ada, ini pembangunan yang paling cepat, tujuh bulan sudah selesai. Biasanya satu sampai lima tahun baru selesai, di sini hanya tujuh bulan. Di Uzbekistan itu paling cepat sebelumnya, hanya 15 bulan,” ujar Lohia.
Pabrik baru perusahaan yang bergerak di sektor hulu tekstil meresmikan pabrik kesembilan dengan kapasitas produksi mencapai 10.800 metrik ton per tahun. Produk yang akan dihasilkan dari pabrik tersebut adalah benang pintal dengan kebutuhan tenaga kerja 270 orang. Lokasi dari pabrik ke sembilan ini menempati lokasi tanah pabrik yang telah dibeli sejak 1997 seluas 50 hektare.
Indorama memiliki rencana investasi sebesar Rp593,75 miliar dan sudah terealisasi sebesar Rp583,8 miliar. Perusahaan menjual 65% produknya dengan cara ekspor ke 80 negara dengan segmen menengah tinggi. Pada 2014, Indorama mencatatkan penjualan ekspor mencapai US$ 427 juta.
Sementara itu, PT Ever Shine Tex Tbk (ESTI), emiten produsen tekstil, justru memilih strategi berbeda yakni menjual aset senilai Rp208,5 miliar untuk membayar utang ke CTBC Bank.
Berdasarkan prospektus perseroan, dana hasil penjualan aset itu akan digunakan untuk membayar utang perseroan dalam dolar AS kepada CTBC Bank cabang Singapura. “Jika ada kelebihan dana, maka akan digunakan untuk membayar utang PT Primajuli Sukses ke CTBC,” papar manajemen dalam prospektus tersebut.
Penjualan aset dilakukan dalam rangka melakukan restrukturisasi operasional dan keuangan perseroan. Perseroan menderita kerugian komprehensif sejak 2012 akibat turunnya penjualan seiring produksi kain yang tidak lancar sejak terjadinya rasionalisasi karyawan pabrik pada 2011.
“Dengan tingkat produksi yang hanya 30% dari kapasitas terpasang, maka biaya produksi per unit jadi tinggi, karena biaya tetap termasuk biaya energi dan pengelolaan pabrik,” kutip manajemen dalam prospektus.
Aset yang akan dijual berupa tanah dan bangunan seluas 12,6 hektare yang terletak di Jl. Raya Jakarta Bogor, termasuk bangunan pabrik dan kantor yang berada di atas tanah tersebut. Aset tersebut dijual kepada PT Gunung Bengawan Makmur yang merupakan perusahaan terafiliasi.
Market Size
Nilai pasar industri tekstil dan produk fashion di Indonesia pada 2015 diestimasi mencapai US$ 15,19 miliar atau setara Rp 208 triliun (kurs Rp 13.700/US$), menurut perhitungan tim riset duniaindustri.com. Nilai pasar tersebut tumbuh 4,7% dibanding 2014 sebesar US$ 14,51 miliar, meski dengan pertumbuhan yang jauh lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 7,2% dibanding 2013.
Perlambatan pertumbuhan pada 2015 antara lain disebabkan pelemahan daya beli konsumen lokal menyusul depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, perlambatan perekonomian Indonesia, serta anjloknya harga komoditas dunia.
Dari nilai pasar tersebut, sekitar 20% dipasok produk impor dan 80% masih dikuasai produsen lokal, menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Produk impor sebagian besar didominasi produk ilegal yang masuk secara selundupan untuk menghindari bea masuk, sehingga harganya 40% lebih murah dibanding produk lokal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam 5 tahun terakhir, rata-rata impor TPT naik 19,9%, ekspor naik 6,8%, sedangkan konsumsi masyarakat naik 18,3%. Kondisi ini dapat bahwa pasar pertumbuhan dipasar domestik digerogoti barang impor, sedangkan ekspor tidak tumbuh signifikan.
Sementara menurut data kalkulasi Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) yang bersumber dari Bank Indonesia, daya beli masyarakat dalam 5 tahun terakhir terus meningkat dimana konsumsi tekstil naik dari 1,21 juta ton ditahun 2009 menjadi 1,75 juta ton ditahun 2014. Selain didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, konsumsi masyarakat juga disebabkan oleh peningkatan konsumsi perkapita yang naik dari 5,03 kg ditahun 2009 menjadi 6,82 kg ditahun 2014.(*)
Sumber: di sini
PT Indorama Synthetics Tbk (INDR), emiten produsen tekstil hulu yang dimiliki salah satu orang terkaya di Indonesia, Sri Prakash Lohia, misalnya memilih strategi mempercepat realisasi ekspansi pabrik baru senilai US$ 40 juta atau setara Rp 556 miliar (kurs Rp13.900 per dolar) di Subang, Jawa Barat. Pembangunan pabrik baru itu tergolong cepat karena membutuhkan waktu hanya tujuh bulan.
CEO Indorama Sri Prakash Lohia mengatakan, pembangunan pabrik yang dilakukan ini merupakan pembangunan pabrik tercepat dari sembilan pabrik yang telah terbangun. “Kami tambah lagi satu pabrik di sini. Tujuh bulan sudah bisa diselesaikan. Di mana coba bisa bangun pabrik dengan proses yang cepat,” ujar Lohia.
Selain itu, dari beberapa pabrik yang tersebar di beberapa negara seperti Vietnam, Uzbekistan, Turki, Myanmar, Indonesia menjadi negara dengan proses penyelesaian izin konstruksi tercepat, sehingga memudahkan dan mempercepat pembangunan.
“Dari 40 tahun kami ada, ini pembangunan yang paling cepat, tujuh bulan sudah selesai. Biasanya satu sampai lima tahun baru selesai, di sini hanya tujuh bulan. Di Uzbekistan itu paling cepat sebelumnya, hanya 15 bulan,” ujar Lohia.
Pabrik baru perusahaan yang bergerak di sektor hulu tekstil meresmikan pabrik kesembilan dengan kapasitas produksi mencapai 10.800 metrik ton per tahun. Produk yang akan dihasilkan dari pabrik tersebut adalah benang pintal dengan kebutuhan tenaga kerja 270 orang. Lokasi dari pabrik ke sembilan ini menempati lokasi tanah pabrik yang telah dibeli sejak 1997 seluas 50 hektare.
Indorama memiliki rencana investasi sebesar Rp593,75 miliar dan sudah terealisasi sebesar Rp583,8 miliar. Perusahaan menjual 65% produknya dengan cara ekspor ke 80 negara dengan segmen menengah tinggi. Pada 2014, Indorama mencatatkan penjualan ekspor mencapai US$ 427 juta.
Sementara itu, PT Ever Shine Tex Tbk (ESTI), emiten produsen tekstil, justru memilih strategi berbeda yakni menjual aset senilai Rp208,5 miliar untuk membayar utang ke CTBC Bank.
Berdasarkan prospektus perseroan, dana hasil penjualan aset itu akan digunakan untuk membayar utang perseroan dalam dolar AS kepada CTBC Bank cabang Singapura. “Jika ada kelebihan dana, maka akan digunakan untuk membayar utang PT Primajuli Sukses ke CTBC,” papar manajemen dalam prospektus tersebut.
Penjualan aset dilakukan dalam rangka melakukan restrukturisasi operasional dan keuangan perseroan. Perseroan menderita kerugian komprehensif sejak 2012 akibat turunnya penjualan seiring produksi kain yang tidak lancar sejak terjadinya rasionalisasi karyawan pabrik pada 2011.
“Dengan tingkat produksi yang hanya 30% dari kapasitas terpasang, maka biaya produksi per unit jadi tinggi, karena biaya tetap termasuk biaya energi dan pengelolaan pabrik,” kutip manajemen dalam prospektus.
Aset yang akan dijual berupa tanah dan bangunan seluas 12,6 hektare yang terletak di Jl. Raya Jakarta Bogor, termasuk bangunan pabrik dan kantor yang berada di atas tanah tersebut. Aset tersebut dijual kepada PT Gunung Bengawan Makmur yang merupakan perusahaan terafiliasi.
Market Size
Nilai pasar industri tekstil dan produk fashion di Indonesia pada 2015 diestimasi mencapai US$ 15,19 miliar atau setara Rp 208 triliun (kurs Rp 13.700/US$), menurut perhitungan tim riset duniaindustri.com. Nilai pasar tersebut tumbuh 4,7% dibanding 2014 sebesar US$ 14,51 miliar, meski dengan pertumbuhan yang jauh lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 7,2% dibanding 2013.
Perlambatan pertumbuhan pada 2015 antara lain disebabkan pelemahan daya beli konsumen lokal menyusul depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, perlambatan perekonomian Indonesia, serta anjloknya harga komoditas dunia.
Dari nilai pasar tersebut, sekitar 20% dipasok produk impor dan 80% masih dikuasai produsen lokal, menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Produk impor sebagian besar didominasi produk ilegal yang masuk secara selundupan untuk menghindari bea masuk, sehingga harganya 40% lebih murah dibanding produk lokal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam 5 tahun terakhir, rata-rata impor TPT naik 19,9%, ekspor naik 6,8%, sedangkan konsumsi masyarakat naik 18,3%. Kondisi ini dapat bahwa pasar pertumbuhan dipasar domestik digerogoti barang impor, sedangkan ekspor tidak tumbuh signifikan.
Sementara menurut data kalkulasi Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) yang bersumber dari Bank Indonesia, daya beli masyarakat dalam 5 tahun terakhir terus meningkat dimana konsumsi tekstil naik dari 1,21 juta ton ditahun 2009 menjadi 1,75 juta ton ditahun 2014. Selain didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, konsumsi masyarakat juga disebabkan oleh peningkatan konsumsi perkapita yang naik dari 5,03 kg ditahun 2009 menjadi 6,82 kg ditahun 2014.(*)
Sumber: di sini
Komentar
Posting Komentar