Terhenyak membaca pasukan pengendara Go-Jek mencapai 250 ribu orang dan terus bertambah. Dengan jumlah seperempat juta jiwa, mungkin perusahaan berbasis aplikasi ini menjadi salah satu dengan jumlah tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Memang harus diakui, era digitalisasi masih terus booming secara global. Dan di tengah perlambatan ekonomi dunia, kejatuhan harga komoditas, serta perang mata uang, bisnis onlinr menjadi salah satu pergeseran arus besar yang dimungkinkan.
Namun, pergeseran yang drastis, bahkan terkesan super fast, ini justru menimbulkan pertanyaan besar.
Mengapa terjadi pergeseran tenaga kerja sekitar 250 ribu orang ke aplikasi online? Apa faktor pendorongnya? Apakah memang lapangan kerja di industri lain sedang anjlok atau itu hanya motivasi pribadi seperti pendapatan yang lebih besar?
Jika menilik kondisi dan kinerja industri di Indonesia belakangan ini, patut disadari tekanan berat makin menerpa. Dari mulai perlambatan ekonomi, penurunan daya beli konsumen, fluktuasi kurs dan harga bahan baku, perang melawan produk impor, industri terutama komoditas dan manufaktur mulai terjun bebas.
Akibatnya, industri yang tidak kuat bersaing harus menerapkan efisiensi, entah itu mengurangi tenaga kerja, menurunkan produksi, hingga mengorbankan profit.
Sebut saja, raksasa otomotif seperti Ford dan GM hingga prinsipal elektronik semacam Toshiba dan Panasonic harus menelan pil pahit: mengurangi tenaga kerja. Belum lagi Chevron, United Tractors, dan entah berapa banyak pemain industri kecil dan menengah yang melakukan hal serupa.
Padahal, lapangan kerja dibutuhkan untuk memutar roda perekonomian secara nasional. Bagaimana bisa suatu daerah dapat menggerakkan ekonominya jika tidak tersedia lapangan kerja yang cukup?
Jika itu yang terjadi, daerah tersebut hanya akan menjadi 'parasit' bagi daerah lain, tanpa mampu mandiri menghidupi kebutuhannya sendiri.
Dari uraian di atas, sedikitnya ada dua pekerjaan rumah yang mesti dibenahi semua pihak. Pertama, dari sisi industri perlu dibenahi secara radikal. Perlu usaha lebih keras untuk menghidupkan kembali industri yang berdaya saing dan mampu menyerap tenaga kerja. Pemerintah sebenarnya telah memiliki rencana tapi dibutuhkan terobosan lebih kuat.
Kedua, menumbuhkan daya beli konsumen agar pasar lokal kembali bergairah.
Harus disadari, lapangan kerja sangat dibutuhkan oleh generasi selanjutnya untuk menata kembali kehidupan yang lebih baik.(*)
Sumber selengkapnya di sini
Memang harus diakui, era digitalisasi masih terus booming secara global. Dan di tengah perlambatan ekonomi dunia, kejatuhan harga komoditas, serta perang mata uang, bisnis onlinr menjadi salah satu pergeseran arus besar yang dimungkinkan.
Namun, pergeseran yang drastis, bahkan terkesan super fast, ini justru menimbulkan pertanyaan besar.
Mengapa terjadi pergeseran tenaga kerja sekitar 250 ribu orang ke aplikasi online? Apa faktor pendorongnya? Apakah memang lapangan kerja di industri lain sedang anjlok atau itu hanya motivasi pribadi seperti pendapatan yang lebih besar?
Jika menilik kondisi dan kinerja industri di Indonesia belakangan ini, patut disadari tekanan berat makin menerpa. Dari mulai perlambatan ekonomi, penurunan daya beli konsumen, fluktuasi kurs dan harga bahan baku, perang melawan produk impor, industri terutama komoditas dan manufaktur mulai terjun bebas.
Akibatnya, industri yang tidak kuat bersaing harus menerapkan efisiensi, entah itu mengurangi tenaga kerja, menurunkan produksi, hingga mengorbankan profit.
Sebut saja, raksasa otomotif seperti Ford dan GM hingga prinsipal elektronik semacam Toshiba dan Panasonic harus menelan pil pahit: mengurangi tenaga kerja. Belum lagi Chevron, United Tractors, dan entah berapa banyak pemain industri kecil dan menengah yang melakukan hal serupa.
Padahal, lapangan kerja dibutuhkan untuk memutar roda perekonomian secara nasional. Bagaimana bisa suatu daerah dapat menggerakkan ekonominya jika tidak tersedia lapangan kerja yang cukup?
Jika itu yang terjadi, daerah tersebut hanya akan menjadi 'parasit' bagi daerah lain, tanpa mampu mandiri menghidupi kebutuhannya sendiri.
Dari uraian di atas, sedikitnya ada dua pekerjaan rumah yang mesti dibenahi semua pihak. Pertama, dari sisi industri perlu dibenahi secara radikal. Perlu usaha lebih keras untuk menghidupkan kembali industri yang berdaya saing dan mampu menyerap tenaga kerja. Pemerintah sebenarnya telah memiliki rencana tapi dibutuhkan terobosan lebih kuat.
Kedua, menumbuhkan daya beli konsumen agar pasar lokal kembali bergairah.
Harus disadari, lapangan kerja sangat dibutuhkan oleh generasi selanjutnya untuk menata kembali kehidupan yang lebih baik.(*)
Sumber selengkapnya di sini
Komentar
Posting Komentar